Thursday 3 July 2014

JELAJAH CANDI: Lumbung - Asu - Pendem - Losari - Gunung Wukir - Ngawen

Wow amazing mek judulnya panjang sekali !!! hehe.... :D

Itu merupakan judul jelajah kali ini bersama komunitas Magelang: KOTA TOEA MAGELANG dan juga bersama WALANG (Komunitas Watu Magelang). Event yang bertajuk “DJELADJAH TJANDI & SITOES” pada hari Minggu Pahing, 22 Juni 2014 ini memiliki rute yang cukup panjang, range 10-20 Km di kabupaten Magelang. Rute ini mengunjungi candi:  Asu -  Pendem - Lumbung - Losari - Gunung Wukir - Ngawen.
Sumber Gambar: Ake Ru

Mengulik candi di kawasan Magelang tidak akan pernah ada habisnya. Lokasi Magelang yang sangat strategis diapit 7 gunung, tak hayal kawasan Magelang dianggap surga-dunia oleh era Hindu-Budha yang juga dianggap sebagai tempat tinggal para dewa.

"Bumi Magelang yang subur ini semenjak dahulu memiliki peradaban yang tinggi. Bagaikan harta karun yang tak ternilai harganya. Berbagai peninggalan bersejarah berserakan di wilayah ini, termasuk peninggalan berupa situs dan candi yang merupakan peninggalan di jaman Hindu dan Budha. Jejak-jejak sejarahnya masih bisa kita temukan hingga sekarang, baik berupa situs, artefak maupun candi"

#Intermezo:
Tak hayal dalam tema ini saya sangsi dengan slogan Magelang Sejuta Bunga, namun secara realita seharusnya Magelang Sejuta Candi. Tak bisa dibayangkan ketika era Hindu-Budha, betapa makmur dan indahya peradaban di magelang dengan kemegahan bangunan candi. Banyak pertanyaan: "bagaimana cara membangun candi dan berapa lama membangun sebuah candi?" mengingat rekonstruksi 1 bangunan candi saja bisa mencapai 10 tahun lamanya. Secara sisi positif, ini menunjukkan bahwa pemerintahan dan rakyatnya bersatu padu dalam membangun satu peradaban.
Sumber Foto dari om Begawan Prabu:
KLIK
Sumber Foto: Retno Wijayanti
Kembali ke event “DJELADJAH TJANDI & SITOES", event hari tersebut merupakan hari yang istimewa bagi saya pribadi, dan dengan mbak Ekowati Lestari. Sesaat sebelum acara dimulai, saya mendapatkan kejutan yang istimewa. Kejutan tersebut adalah berupa hadiah ulang tahun topi official komunitas KOTA TOEA MAGELANG, padahal hari ulang tahun saya dua hari sebelum event ini dilaksanakan.... hehe.... Saya ucapkan terimakasih kepada semua peserta event yang karena saking banyaknya, sehingga tidak bisa saya tuliskan satu persatu.... hehe....
Identitas
Seperti yang sudah diagendakan, kami mulai pukul 08.15 – 08.30 WIB untuk briefing dan petunjuk teknis pelaksanaan acara. Sedikit pengarahan, setiap kendaraan wajib diberi tanda semacam bendera kecil sebagai identitas, guna tanda rombongan dan agar tidak kehilangan jejak di jalan raya. Yang pada akhir event bendera penanda tersebut "disita" oleh Pakdhe Wotok.... hehe.... Tak lupa mulai pukul 08.30 kami isi "amunisi" sebagai bekal perjalanan.
Isi Amunisi
Sepanjang perjalanan menuju lokasi kunjungan sangat menarik dan eksotis dengan pemandangan indah. Tak lupa panitia mengingatkan: "jangan lupa bawa kamera ya!". Dan siap-siap berkeringat menahan adrenalin karena keindahan sekitar yang luar biasa.

1. CANDI LUMBUNG
 Pukul 10.00 sampailah kami di obyek pertama, Candi Lumbung. Candi Lumbung ini berletak di Dusun Tlatar, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Per 2014, Candi Lumbung ini merupakan candi yang dipindahkan dari lokasi sebelumnya. Lokasi sebelumnya berada di atas tebing aliran sungai Apu yang terancam longsor karena dampak aliran banjir lahar dingin letusan gunung Merapi tahun 2010. Sebagai penanggulangan sementara, BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Jawa Tengah memindahkan ke tempat yang lebih aman. Dalam pemasangan kembali di tempat yang lebih aman, sampai-sampai dilakukan siskamling oleh warga sekitar dan patroli keamanan desa agar batuan tidak dicuri. Dinamakan Candi Lumbung, karena diduga oleh penduduk setempat dulu tempat menyimpan padi.
Candi Lumbung ini berlatarbelakang agama Hindu. Perkiraan candi dibangun pada masa abad 9 Masehi. Dari prasastinya, Candi Lumbung ini kemungkinan diperuntukkan pendharmaan bagi Bhatara di Salingsingan yang ditunjukkan memalui jenis persembahan khususnya berupa payung mas yang diberikan oleh Rakai Kayuwangi. Dan diasumsikan, bilamana Bhatara di Salingsingan ini adalah tokoh penting.
Bersama Komunitas Watu Magelang
Saya sangat terbantu dengan info tambahan yang diberikan komunitas Walang (Watu Magelang) oleh mas Indra Oktora, mas Pilar, dan kawan-kawan. Mereka dengan fasih menjelaskan kepada peserta mengenai info candi dan relief pada candi. Info tambahan tersebut: di dalam candi tersebut terdapat lubang semacam sumur yang dahulu digunakan sebagai air suci untuk ritual keagamaan. Relief Candi Lumbung ini terdapat relief burung kakatua dan guci berisikan bunga Padma (Lotus). Burung kakatua melambangkan salah satu hewan suci dalam mitologi Hindu. Sedangkan guci berisikan bunga lotus melambangkan kesuburan dan kemakmuran peradaban Hindu pada masa itu.
Kiri: Relief Burung Kakatua; Kanan: Relief Guci berisi Lotus
Oh iya, selain itu kami disuguhkan penampilan khusus dari pak Narwan Sastra Kelana. Pakn Narwan menampilkan geguritan (puisi) yang berjudul "Wis Tumeko Titi Wancine" (dalam bahasa Indonesia: Sudah Datang, Tiba Saatnya). Puisi tersebut memiliki makna bahwa Indonesia (Nusantara) memiliki kekayaan alam yang luar biasa dan Nusantara akan selalu berjaya (jika) di bawah pimpinan orang yang baik dan bijaksana. Akan datang, tiba saatnya (nanti) pemimpin yang berbudi luhur memimpin Nusantara seperti yang sudah diramalkan sebelumnya. Namun terlepas dari kepemimpinan, kita harus berhenti dari perseteruan antar manusia, ingat (menghargai sejarah) dan selalu siaga (eling lan waspada). Dan berpegang teguh pada Tuhan yang Esa.

Berikut penampilan pembacaan Geguritan (puisi) dari Pak Narwan Sastra Kelana

WIS TUMEKO TITI WANCINE
oleh: Narwan Sastra Kelana

Wis Tumeko Titi Wancine
Nuswantoro Bakal Makmur
Kudu Nyawiji Lumaksono Ati
Ojo Suloyo lan Tansah Udur

Delengen Kae
Lingga Yoni Candi Candi
Podho Katon Siji Mboko Siji
Jumedhul Seko Bumi Pertiwi

Prokonco Sedulur Kabeh
Gumregah Cancut Tali Wondo
Ilangono Suloyo lan Cubriyo
Nyawiji Golong Gilig ing Ati

Delengan Kae
Lingga Yoni Candi Candi
Pratondho Wis Tumeko Titi Wancine
Satrio Gung Kang Kinanthi
Hayam Wuruk lan Gadjah Mada
Bakal Tumeko Maneh
Mimpin Nuswantoro Mbrasto Durangkoro

Mulo Poro Sedulur
Lerenono Anggonmu Udur
Eling Marang Welinge Ronggowarsito
Eling Joyoboyo lan Poro Winasis

Wis Teko Titi Wancine
Nuswantoro Bakal Minulyo
Podho Elingo
Sak Bejo Bejone Manungso
Luwih Bejo Kang Tansah Eling lan Waspodo

2. CANDI ASU
Setelah bertolak dari candi Lumbung, tibalah kami di Candi Asu pada pukul 11.00 WIB. Sedikit memberikan info, Candi Asu ini adalah candi yang berlatarbelakang agama Hindu. Candi Asu berletak di kelurahan Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Adapun beberapa prasasti yang ditemukan adalah: Prasasti Sri Manggala II, Kurambitan I dan II yang berisi tentang Sang Pamgat Hino Sang Apus yang menetapkan dharmanya di Salinsingan.
Sementara itu di prasasti lain, prasasti Salingsingan yang bertuliskan angka tahun 802 Saka atau 880 masehi menyebutkan tentang dharma Sri Maharaja Rakai Kayuwangi kepada Bhatara di Salingsingan.

Kemungkinan ditemukan Candi Asu sekitar abad 18 (catatan Belanda). Dari segi arsitektur, candi Asu ini memiliki kemiripan fungsi pada candi Lumbung. Di dalam candi terdapat bidang kosong yang diduga dulu berisi air. Bidang kosong tersebut diapit oleh Ghana yang diduga belum selesai dikerjakan (mahluk kerdil penopang candi). Pada bagian kaki candi Asu ini terdapat relief motif sulur-suluran untaian mutiara, flora dan burung kakatua yang belum selesai dipahat.
Menurut warga sekitar, konon bidang kosong yang berada di Candi Asu pernah digunakan untuk menyimpan senjata dalam masa perang kemerdekaan melawan penjajah Belanda di era kolonial. 

#NB
Beberapa kajian nama Candi Asu dari folklor sekitar:
- Candi Asu kemungkinan dinamai oleh warga sekitar karena di dekat candi tersebut terdapat arca Sapi (Nandi) yang merupakan wahana Dewa Siwa. Warga sekitar yang kurang memahami arkeologi ketika itu dalam temuannya menganggap arca tersebut lebih mirip bentuk Asu (dalam bahasa Indonesia: anjing).

- Dalam candi Asu, kata asu adalah anjing dalam bahasa Jawa. Kata asu adalah perubahan bahasa dalam kebiasaan pengucapan masyarakat Jawa dari kata aso atau mengaso (mengaso dalam bahasa Indonesia memiliki arti istirahat).

- Dalam kajian bahasa Jawa, Asu memiliki 2 suku kata: A dan Su. A yang memiliki arti "tidak" dan Su yang memiliki arti "baik". Ini dibuktikan dengan relief dan arca yang tidak sempurna atau belum selesai pada Candi Asu.
Oh iya, di obyek yang ke dua ini kami kedatangan tokoh sekaligis pematung yang istimewa, dialah pak Leonardus Ismanto. Pak Leonardus Ismato adalah pematung dan seniman asal lereng Merapi yang aktif di kawasan Magelang. Pribadi yang bersahaja dan humoris, pak Ismanto sengaja datang sebagai pematung atas "undangan mendadak" lewat SMS oleh om Begawan Prabu. 

Pak Ismanto berbagi pelajaran penting kepada para peserta, bahwa dia sebagai pematung sangat beruntung tidak bisa menganalisis makna relief pada candi. Dia menjelaskan, karena ketika seorang pematung mencoba menerka makna relief, hasilnya akan hanya berupa pendapat dan opini saja yang keabsahannya bisa meleset yang nantinya akan berakhir pada musrik dengan suatu agama tertentu. Namun patut berbangga hati pada Nusantara, ternyata sebelum agama masuk ke Nusantara, agama asli Nusantara adalah Animisme dan Dinamisme. Suatu adat dan budaya yang sangat istimewa di Nusantara, penghargaan terhadap Yang Maha Kuasa secara sakral ketika itu. Poin penting yang dipetik adalah: semua cara "perayaan iman" berkaitan dengan religiusitas secara vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa hendaknya dihargai dan dihormati.
Berjalan Menuju Candi Pendem
3. CANDI PENDEM
Sumber Foto: Pak Narwan
Sekitar 200 meter tak jauh dari Candi Asu, terdapat Candi Pendem. Menyusuri sawah dan ladang, Candi Pendem ini ternyata berletak di tengah ladang warga sekitar. Lokasi yangs sangat unik, yaitu nampak berada di bawah tanah seolah-olah terbenam di tanah yang datar, yang kemudian dinamakan Candi Pendem oleh masyarakat sekitar. Kemungkinan juga, daerah ini dahulu dilalui oleh sungai purba.
Candi Pendem ini juga memiliki kemiripan dengan 2 candi sebelumnya, Candi Lumbung dan Candi Asu. Dalam tubuh candi terdapat lubang semacam sumur sedalam hampir 2 meter dengan ukuran kotak kurang lebih 1,3 x 1,3 meter. Menurut arkeolog Soekmono yang dikutip dari buku Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, sumur tersebut digunakan sebagai tempat pemujaan. Pemujaan tersebut bisa ditujukan kepada seorang tokoh tertentu atau arwah seorang raja. Ketiga candi ini didirikan tahun 869 masehi. 
Dari Kiri ke Kanan: Candi Lumbung, Candi Asu dan Candi Pendem
Keadaan Candi Pendem ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi. Hanya bagian kaki dan tubuh bagian bawah, sementara bagian atap sudah hilang, jadi sudah tidak bisa direstorasi lagi. Terdapat beberapa keunikan pada Candi Pendemyaitu adanya motif hias sulur gelung yang keluar dari jambangandan di tengah ikal sulur terdapat burung bangau yang membuka kedua sayapnya, relief Ghana, dan adanya lubang-lubang pada batu bagian batursudut barat dayayang menyerupai batu dakon.
Ghana pada Candi Pendem
4. CANDI LOSARI
Setelah bertolak dari Candi Pendem, mengarah ke selatan kurang lebih 15 Km, tibalah kami di Candi Losari pada pukul 12.30 WIB. Candi Losari berletak di Dusun Losari, Desa Salam, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi Losari berada di tengah kebun salak milik pak Badri seorang guru SMP N 12 Kota Magelang, yang pada 11 Mei 2004 menggali parit kemudian menemukan batuan candi secara tidak sengaja, yang diperkirakan pada tahun 925 - 928 Masehi tertimbun oleh kandungan material gunung Merapi berupa endapan lahar, fluviatil maupun alluvial. Setelah penemuan ini mengemuka, lalu oleh pihak yang terkait melalui Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala jawa Tengah dan balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penindaklanjutan dengan penyusunan kembali dengan ekskavasi arkeologis dan rekonstruksi.
Latarbelakang Candi Losari ini beragama Hindu, karena ditemukan arca-arca Hindu yang antara lain: arca Mahakala dan dewa Lokapala dalam mitologi Hindu. Candi Losari ini dikelilingi perwara (candi pengapit / candi pelengkap), Candi Induk berada sekitar 8 meter dari candi perwara. Perkiraan luas Candi Losari 25 x 25 meter, sedangkan candi induknya 9 x 9 meter. Karena keadaan areal candi yang basah, bahkan terendam air, maka batasan penulis hanya investigasi yang kelihatan saja (per 22 Juni 2014). Ada satu yang unik dari Candi Losari ini, yaitu terdapat relief gajah (saat itu terlihat belalainya saja).
#NB:
Investigasi Pak Narwan Sastra Kelana kepada Mbak Halimah (penjaga Candi Losari):
Menindaklanjuti penemuan (2004) itu, dilakukan penggalian pada tahun 2007 dan ditemukan sebuah candi utuh. Kemudian tahun 2008 ditemukan dua buah candi dan sebuah candi induk yang tidak utuh lagi.
Kemudian tahun 2010 dilakukan penggalian pada candi induk. Dilanjutkan tahun 2011 untuk mencari bagian lain dari candi induk. Proyek terakhir tahun 2013 adalah pembuatan akses jalan masuk ke kompleks candi. “Jadi saat ini situs Candi Losari berupa satu candi induk dan tiga candi anakan atau candi perwara" ujar Mbak Halimah.
Sumber Foto: Pak Narwan
Pada 2013 dibuatlah akses jalan masuk ke kompleks candi, serta dibuatlah atap yang membentang 25 x 25 meter agar ekskavasi dan rekonstruksi candi berjalan lancar terbebas dari guyuran hujan, karena candi ini terkubur di dalam tanah, atau (sekarang) di bawah permukaan tanah. Namun sayang sekali, dijelaskan oleh mbak Halimah bahwa air tanah ternyata lebih deras menyembul daripada jatuhnya air hujan. Ini yang mengakibatkan akan lebih lama lagi dalam merekonstruksi Candi Losari. Ada beberapa ide tambahan, bahwa akan dibangun lagi saluran pembuangan air, namun baru sebatas wacana.
Lanjut Perjalanan Ke Candi Gunung Wukir
5. CANDI GUNUNG WUKIR
Setelah puas mengagumi kemegahan Candi Losari, kami melanjutkan perjalanan menuju candi berikutnya pada pukul 13.15 WIB, yaitu Candi Gunung Wukir. Ini merupakan lokasi candi favorit saya dan teman-teman karena daerah jelajah yang sangat epic dan menawan. Candi Gunung Wukir merupakan candi berlatar belakang agama Hindu, yang berletak di lereng Barat gunung Merapi. Tepatnya berada pada Dusun Canggal, Desa Kadiwulih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, lokasi Candi Gunung Wukir berada di sebelah timur laut kota Muntilan. Candi ini berada di atas bukit Wukir, dan oleh masyarakat disebut Gunung Wukir. Oh iya, satu keunikan dari Candi Gunung Wukir ini dengan cara: melepas alas kaki jika ingin menapak pada candi tersebut. Ini bertujuan menghormati tradisi warisan turun-temurun, dan bertujuan agar situs tidak rusak.

Melepas Lelah
Sampai di Gunung Wukir
Seperti yang sudah saya paparkan di atas, perjalanan ke situs Candi Gunung Wukir ini yang paling menarik. Untuk mencapai ke candi, pengunjung harus berjalan kaki mendaki bukit Wukir. Sebelum naik ke bukit, hendaknya pemakai kendaraan bermotor bisa menitipkan ke halaman rumah warga, kemudian menemui juru kunci Candi Gunung Wukir, Pak Widodo. Pemandangan elok, rimbunan bambu dan pohon kopi liar dibiarkan tumbuh menghiasi jalanan menuju puncak Gunung Wukir.

Di Gunung Wukir ditemukan prasasti Canggal pada 1879 (catatan). Prasasti Canggal ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti ini terbagi menjadi 2 bagian, bagian pertama ditemukan di halaman candi, dan satu bagian lainnya berada di lereng bukit dekat dengan sungai. Isi prasasti tersebut menceritakan Raja Sanjaya yang gagah perkasa mengalahkan musuhnya. Kemudian diceritakan bahwa kemenangan atas musuhnya tersebut diabadikan dengan membangun sebuah lingga dan yoni. Namun sayang sekali, lingga telah hilang entah kemana. Sedangkan, Prasasti Canggal sekarang diamankan dan berada di Museum Nasional, Jakarta.
Candi Utama
Perwara Berisi Nandi
Perwara Berisi Yoni
Perwara
Selain itu, di Candi Gunung Wukir terdapat yoni dan arca nandi. Terdapat pula 3 perwara sebagai pengapit candi utama yang di atasnya terdapat Yoni tanpa Lingga. Komplek Candi Gunung Wukir termasuk cukup luas, yaitu berukuran 50 x 50 meter terbuat dari jenis batu andesit. Menurut perkiraan, candi ini merupakan cani tertua yang dibangun pada masa raja Sanjaya dari kerajaan Mataram Kuno, yaitu 732 M atau 654 tahun Saka. Ada beberapa info tambahan, bahwa isi Prasasti Canggal tersebut ada kaitan dengan Kerajaan Medang atau Mataram Hindu. Dan berdasarkan prasasti itu, Candi Gunung Wukir kemungkinan memiliki nama asli Shiwalingga atau Kunjarakunja.
Lumpang
Ketika turun dari Gunung Wukir, di jalan kami berkesempatan untuk "sowan kulanuwun" yang diwakili oleh Pakdhe Mbilung berkunjung ke makam leluhur Gunung Wukir.
Sumber Foto: Pak Narwan
6. CANDI NGAWEN
Pukul 14.44 WIB kami tepat mencapai destinasi akhir dari jelajah Situs kali ini, yaitu di Candi Ngawen. Candi Ngawen berada tidak jauh dari Candi Mendut. Candi Ngawen berletak di desa Gunungpring Ngawen, kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Menurut catatan, candi ini merupakan bangunan suci untuk peribadatan yang tertulis pada prasasti Karang Tengah, tahun 824 Masehi, bertuliskan Venuvana (bahasa Sansekerta yang berarti: Hutan Bambu).
Tulisan saya yang pernah memuat Candi Ngawen:

Dalam catatan Belanda, pemugaran pertama kali Candi Ngawen pada tahun 1911. Menurut catatan pula, Candi Ngawen ini dibangun pada abad 8 pada dinasti Syailendra (Budha) dan disnasti Rakaipikatan (Hindu). Candi Ngawen termasuk candi Budha meskipun bangunan meruncing vertikal yang cenderung menyerupai candi Hindu. Candi Ngawen juga dibangun pada masa dinasti yang berbeda, karena keunikan ini, maka dijuluki candi peralihan. 

Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, 2 diantaranya memiliki bentuk yang berbeda dengan dihiasi arca singa di keempat sudutnya. Sebuah patung Budha tanpa kepala dengan posisi duduk Ratnasambawa ada di dalam candi yang konstruksinya "paling" lengkap. Namun sangat disayangkan, karena menjaga dari ulah "si tangan jahil pengunjung", maka kali ini (per 22 Juni 2014) patung Budha pada candi ini dulindungi dengan terali besi.

Terdapat pula kala dan makara yang utuh, dan yang saya anggap paling prestisius bagi saya adalah relief Kinara - Kinari.... you know me so well lah mengapa saya kagum dengan Kinara - Kinari.... :D 
Mengapa relief Kinara - Kinari saya sukai:
Kinara - Kinari merupakan makhluk kahyangan yang berwujud setengah manusia setengah burung. Dalam kehidupan di kahyangan, mereka bertugas selain sebagai penjaga kalpataru juga sebagai seniman-seniman kahyangan yang memberikan pertunjukan-pertunjukan kesenian di istana kahyangan.
 
oh iya, ada yang menjadi pertanyaan saya yang belum terjawab sampai sekarang berlatarbelakang relief Candi Ngawen. Dalam relief Candi Ngawen terdapat relief Gajah. Nah pertanyaan saya: Apakah di Jawa dulu ada spesies gajah Jawa ???
Hanya sedikit jawaban:
- Gajah adalah hewan suci mitologi Hindu - Budha.
- Si pembuat arca adalah berasal dari India.
- Para pelancong dan pedagang ke Nusantara membawa gajah dengan kapal (dengan alasan membangun candi dengan bantuan hewan yang kuat pula).

Well, acara kami selesai pada 15.30 dan para peserta saling memberikan respon terhadap acara ini. Satu kata: Amazing !!!

INTERMEZO
Semua hal yang berkaitan dengan Candi, pasti berhubungan dengan ibadah dengan Yang Maha Kuasa. Kita seharusnya juga paham tata krama dan etika jika berkunjung ke Candi. Semua cara "perayaan iman" berkaitan dengan religiusitas secara vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa hendaknya dihargai dan dihormati. Istilah canda "aturan dibentuk untuk dilanggar" itu salah kaprah dalam melestarikan Benda Cagar Budaya. Pelestarian ini sebagai pembelajaran dan edukasi melestarikan sejarah, belajar sejarah untuk tolok ukur Nusantara masa mendatang.
Vandalisme Ukiran di Candi Asu
Cagar Budaya Dilindungi Undang-undang

Terimakasih Pinjaman Gambar dan Infonya Kepada:

Om Begawan Prabu
Pak Narwan Sastra Kelana
Pak Widoyoko
Retno Wijayanti
Ake Ru

3 comments:

  1. Luar biasa istimewa kawan kawan. Salam heritage dan nderekaken Thank You! :D

    ReplyDelete