Friday, 29 May 2015

TAMASYA CIAMIK - CURUG SILAWE

Magelang dikaruniai oleh Sang Semesta memiliki keindahan alam yang istimewa, salah satunya adalah Curug. Curug adalah bahasa Jawa, yang memiliki arti Air Terjun. Destinasi tamasya curug kali ini mengarah ke Kabupaten Magelang. Magelang terdiri atas kota dan kabupaten, yang memiliki pemerintahan tersendiri.

Pada permulaan tahun 1810 di saat sebagian wilayah nusantara dikuasai oleh orang Inggris, Magelang dipilih sebagai Ibu Negeri. Mas Angabehi Danoekromo diangkat sebagai Bupati pertama di Kabupaten Magelang. Namun karena pemerintahan Inggris jatuh ke tangan Belanda, maka pada 30 November 1813 tercetuslah penetapan gelar jabatan menjadi Regent Raden Toemenggoeng Danoeningrat.

Pada masa Perang Jawa (Perang Diponegoro), Raden Toemenggoeng Danoeningrat meninggal pada tanggal 28 September 1825 oleh pasukan Pangeran Diponegoro karena keberpihakan pada Belanda. Dan atas jasa-jasanya setia pada Belanda, maka kematiannya diberikan gelar R. Adipati Danoeningrat. Pada tahun 1906 Kota Magelang ditetapkan sebagai Gemeente Magelang yang tercantum dalam Staatsblad Van Nederlands Indie. Kemudian tahun 1929 Pemerintah Hindia Belanda meningkatkan kedudukannya menjadi Stads Gemeente Magelang yang memiliki wewenang mengurus rumah tangganya.
SOURCE: KLIK
Hingga perang dunia II, Bupati Magelang dijabat oleh keturunan R. Adipati Danoeningrat. Di saat pendudukan Jepang, semua daerah otonom dihapus. Seluruh tugas pemerintah diserahkan kepada Sie Che dan berdasarkan Osamu Seirei nomor 12 tanggal 29 April 1943, Kota Magelang disebut Magelang.

Memasuki masa kemerdekaan, berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1948 disebut Kota Magelang dan berstatus sebagai ibukota Kabupaten Magelang. Pada tahun 1850 berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 1950, kota Magelang diberi hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam perkembangannya kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1982, dilakukanlah pemindahan ibukota Kabupaten Magelang dari Kota Magelang ke Desa Sawitan, Kecamatan Mungkid yang selanjutnya ditetapkan sebagai Kota Mungkid.

KECAMATAN KAJORAN - DESA SUTOPATI
Salah satu curug yang ciamik di Magelang bernama curug Silawe. Curug Silawe berletak di dusun Kopeng Wetan, desa Sutopati, kecamatan Kajoran, kabupaten Magelang. Dengan luas 83.41 km², Kajoran merupakan kecamatan yang terletak di lereng gunung Sumbing Kabupaten Magelang. Sebagian besar adalah daerah perkebunan sehingga terkenal sebagai daerah yang sejuk di Kabupaten Magelang. Selain potensi wisata curug Silawe yang terus dikembangkan, Kecamatan Kajoran mempunyai potensi pertanian untuk dikembangkan, karena tanah yang subur serta ketersediaan air yang cukup untuk digunakan sebagai pengairan.
SUTOPATI
Banyak wisatawan curug Silawe yang hanya bertamasya, namun tidak mengenal daerah yang dikunjungi. Mungkin karena kepenatan pikiran yang sudah harus ditinggalkan, maka tak terpikirkan untuk mengetahui lokasi yang dikunjungi. Okey, tak kenal maka tak sayang... hehe...

Di daerah pedesaan biasanya masih menyimpan mitos di tempat-tempat tertentu, begitu juga dengan tempat ini. Masih banyak mitos yang dipercaya oleh warga dan dapat diceritakan kembali. Sutopati berasal dari dua kata, yaitu suto dan pati. Suto berarti anak dan pati berarti raja. Sehingga Sutopati berarti anak raja. Kata-kata ini bermula dari cerita antara dua Kyai yang dianggap pendiri desa Sutopati, yang bernama Simbah Kyai Dongkar dan Kyai Angggo Kerti. Dalam perjalanan waktu Kyai Dongkar tidak memiliki anak, sedangkan Kyai Anggo Kerti memiliki dua anak. Tidak terlarut dalam kesedihan, kedua anak Kyai Anggo Kerti sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Kyai Dongkar. Daerah kekuasaannya inilah yang kemudian bernama Sutopati.

TAMASYA CIAMIK - CURUG SILAWE 
Bertamasya ciamik ke curug Silawe kabupaten Magelang bak menikmati setitik surga di muka bumi. Oh iya, dalam tamasya kali ini kami melibatkan seorang pemuda setempat. Seorang penggemar klub sepakbola Inggris, Liverpool F.C: Wachyou Liverpudlian , sebut saja Willhozt. Dialah yang menjadi Tour Guide menuju curug Silawe kali ini. Pemuda penyuka rokok tingwe (linting dewe; gulung sendiri) ini tidak semata hanya mengantar ke obyek wisata utama, namun mengajak kami mengenal lebih dalam tentang desa Sutopati: kawasan alam sekitar, kearifan lokal beserta situasi sosial yang ramah.

Sebelum tamasya dimulai, ada kalanya harus mengisi "amunisi" (bekal makanan), karena perjalanan akan menguras tenaga. Salah satu makanan yang sangat khas adalah "Bajingan" (ada yang menyebut: Kluwo). Ya, bajingan adalah nama makanan berbahan baku dari ketela. Cara memasaknya sangat mudah, ketela pohon direbus dengan air dan gula merah hingga meresap. Cita rasa kuliner bajingan ini manis dan berkalori tinggi. Sehingga akan cukup banyak tenaga untuk tamasya kali ini.
Hamparan bukit Potorono dan udara sejuk terhampar di Sutopati seakan-akan sudah menyambut kami. Perlu diketahui bahwa bukit Potorono melewati beberapa dusun dari ujung kajoran barat daya sampai barat laut, bahkan sampai Wonosobo ini dihiasi oleh sungai dan curug. Diantaranya adalah Curug Bujet, Curug Sigetik, Curug Silawe, Curug Sarangan. Menjulang nyata 500 mdpl cukup menyejukkan kulit untuk perbukitan. Melewati sela-sela pekarangan dan rumah penduduk kami memulai perjalanan. Suasana tenang, tidak bising dan masih banyak suara alam seperti burung serta suara gemercik air.

Curug Sigetik
Tak banyak orang mengenal curug Sigetik. Karena memang akses jalan yang sulit dan kontur tanah yang berbukit dengan kemiringan hampir 80 derajat. Perjalanan lokasi yang hampir sama di adegan film Hollywood: Jurassic Park ini mengingatkan kita bahwa manusia hanya hal kecil dalam bumi alam semesta. Curug Sigetik tergolong curug kecil elok yang memiliki air segar yang jernih. 


Curug Bujet
Tak jauh dari curug Sigetik, dengan trek yang cukup menguras tenaga harus menapak kemiringan hampir 80 derajat. Destinasi selanjutnya adalah curug Bujet. Curug Bujet ini lebih besar daripada curug Sigetik. Dan nampaknya memiliki kedalaman yang lebih daripada curug Sigetik. Namun keindahannya tak kalah dengan curug sebelumnya. Amazing !!
Oh iya, Bujet memiliki cerita penting dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Willhozt bertutur bahwa kata Bujet berasal dari kata meriam yang kondisinya sudah tidak prima lagi - mlempem (bahasa lokal: mblejet). Bujet merupakan tempat penyimpanan meriam Belanda di masa perang dunia II. Namun tidak ada barang peninggalan karena peralatan perang sudah ditarik oleh pihak yang terkait.

Big Stone - Watu Gede - Watu Bujet
Sekitar 100 meter melawan arus sungai Bujet yang sangat jernih, terdapat spot yang sangat unik. Dalam benak pasti mengatakan: sungguh besar keagungan Yang Maha Kuasa. Dalam sungai yang tergolong kecil, terdapat batu yang sangat besar. Logika manusia tidak bisa menjadi acuan ketika melihat pertama kali Watu Bujet ini. Batu besar yang diyakini warga sekitar merupakan karya indah dari Tuhan yang harus dijaga bersama dari jasmani maupun rohani, dan kita tidak boleh menyepelekannya.
Setelah menikmati Watu Bujet, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi utama, yaitu Curug Silawe. Sesekali istirahat untuk melepas penat dan menyeka keringat dengan air jernih di pinggir pematang sawah. Selama perjalanan trekking, sangat elok menikmati kearifan lokal seperti petani yang menyiangi daun bawang atau yang biasa dikenal loncang. Perlu diketahui bahwa komoditas utama desa Sutopati adalah penghasil bawang berkualitas bagus. Sehingga dibangunlah Tugu Bawang sebelum memasuki desa Sutopati. 


Tugu Bawang ini adalah simbol bahwa kawasan lereng gunung Sumbing sangat cocok ditanami bawang putih, bawang merah dan cabai sebagai penopang ekonomi masyarakat.

Ada pemandangan lain yang sudah tidak mungkin didapatkan di kota. Apabila beruntung, kita akan menemui hewan alap-alap yang sedang terbang berkeliling. Pemandangan yang sangat elok, yang wajib kita jaga bersama agar tidak terjadi kepunahan. Selain itu terdapat tanaman sambilan yaitu kopi. Sangat jarang di ketinggian 500 mdpl ditemui pohon kopi, namun ini ada di desa Sutopati. Sangat sayang untuk dilewatkan, namun (per Mei 2015) belum masa panen di desa Sutopati.

Curug Silawe
Telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa, bahwa tanjakan berbatu terakhir menuju curug Silawe harus dilalui. Silawe sendiri memiliki makna seakan-akan seperti Lawe (sarang laba-laba dalam bahasa Jawa). Bagian bawah dari curug ini terdapat semacam kolam yang terbentuk akibat hempasan air dari atas tebing. Wisatawan dapat merasakan air lebih dekat, karena tidak terlalu dalam.

Sedangkan yang kedua yang tidak jauh dari curug utama disebut curug Sigong. Curug Sigong sendiri terletak di sebelah kanan ke arah hilir dari Curug Silawe dan memiliki ketinggian sekitar 150 meter. Dinamakan sigong karena dahulu kala pada malam-malam tertentu sering terdengar suara bunyi gong dari arah air terjun ini. Untuk dapat bermain air disekitar limpahan dari air terjun Si Gong ini, pengunjung harus menyeberang aliran Silawe dan menaiki anak tangga kembali kearah kanan dari Silawe.
Kedua curug ini dikala musim kemarau tidak banyak airnya. Setiap sebelum bulan puasa dimulai, warga sekitar air terjun ini acapkali mengadakan ritual yang sering disebut "Ngloro Sengkolo", dimana dalam ritual tersebut diharuskan membawa gunungan hasil panen milik warga setempat dengan cara diarak dari Lapangan Sutopati sampai Curug Silawe . Dalam ritual ini selain untuk membersihkan diri baik batin maupun fisik juga menandakan rasa syukur kepada yang maha kuasa atas limpahan rezeki yang mereka terima dari hasil pertanian selama satu tahun.

KEARIFAN LOKAL
Kearifan lokal memang salah satu cara yang paling ampuh dalam pelestarian, baik itu secara fisik maupun rohani. Diharapkan kita sebagai manusia yang memiliki budi yang luhur bisa menerapkan kearifan lokal seperti yang sudah, sedang dan akan dilakukan warga Sutopati. Karena acap kali kita melupakan sesuatu yang penting, bahwa kita kecil di hadapan alam semesta. Mirisnya malah sebaliknya, kita malah membesarkan kesombongan.