Monday, 13 October 2014

EKSOTISME SOSIAL BUDAYA BOROBUDUR


apa yang biasa kita kenal jika mendengar kata Borobudur??? Pasti candinya... hehe... Borobudur yang terletak di kabupaten Magelang ini memang memiliki eksotisme dari berbagai aspek. Diantaranya bangunan Candi, sosial masyarakat, kultur dan pariwisata. Kawasan Borobudur memang sudah dikenal sejak abad ke 9 masehi. Cukup lama juga untuk sebuah kawasan, sebelum material gunung Merapi meluluh lantakkan kawasan Borobudur ini.
"Pesona Borobudur tidak hanya berupa Candi Borobudur dan Candi Pawon saja. Suasana desa, sawah, perbukitan, sungai, alamnya berpadu dengan kehidupan manusianya membentuk pesona alam yang luar biasa. Perbukitan Menoreh dan Sungai Progo menjadi batas alam wilayah ini. Di mana pesona alam itu bagaikan mutiara yang harus terus di asah agar berkilau."

"Sungguh mengasyikkan jika pesona alam itu dapat di nikmati dengan bersepeda. Ya setiap kayuhan roda sepeda yang menelusuri setiap tapak jalan desa dan persawahan akan membuat kita dapat menikmati karunia Tuhan yang sungguh luar biasa itu. Apalagi mengenal lebih dekat dengan aktivitas warga yang ada di setiap kampung yang akan di kunjungi."


Sebelumnya maaf karena postingan ini terlambat dari deadline... hehe...
Namun tak apa, karena kisah eksotisme Borobudur tidak akan pernah luntur, asalkan tidak didominasi keserakahan sumber daya manusia. Okey, kegiatan ini berlatar belakang agenda KOTA TOEA MAGELANG (KTM) yaitu komunitas yang bergerak menyuarakan dan melestarikan budaya heritage secara nyata di kawasan Magelang (kota dan kabupaten). 

Kegiatan kali ini dilaksanakan pada 24 Agustus 2014. Tidak seperti biasanya yang trekking jalan kaki, kami kali ini menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Rencana rute yang akan ditempuh adalah: Dusun Tingal - Kujon - Maitan - Nglipoh - Tuk Songo - Ngaran - Tingal, dengan panjang rute sejauh kurang lebih 8 KM. Fokus kegiatan ini tidak hanya pada bagunan candi yang sangat elok, namun ada sisi yang luar biasa, yaitu sisi kultur sosial budaya dan pesona alam buah karya Yang Maha Esa. Dengan kontribusi Rp 25.000,- kita mendapatkan pesona yang sebenarnya tak ternilai harganya. Satu kata: Amazing !!! ... hehe...
Seperti yang sudah diagendakan sebelumnya, kami mulai berkumpul pukul 07.00 WIB di rental sepeda milik pak Heru yang berletak di sebelah rumah makan Pondok Tingal, Desa Wanurejo, Borobudur (300 meter sebelah barat Jembatan Kali Progo Borobudur). Seperti biasa, sebelum agenda dilaksanakan, KTM melakukan daftar ulang beserta pembagian "amunisi" berupa 2 pisang rebus dan air mineral. Cukup sederhana namun berkesan di event ini. Tak lupa berdoa kepada Yang Maha Esa untuk kelancaran acara. Para peserta sangat antusias, bahkan mencapai 70an peserta. Sangat menakjubkan, ketika kuota yang cukup banyak di komunitas yang tergolong kecil ini.

Sesuai yang diagendakan, pukul 08.30 kami mulai melakukan perjalanan mengelilingi desa kawasan Borobudur. Kami mengelilingi desa Borobudur mengunakan sepeda sewaan dengan sangat riang. Acap kali kami terengah-engah ketika mendapati tanjakan, karena beberapa dari kami jarang yang melakukan olahraga. Namun tak jadi soal, tak ada penyesalan mengikuti acara ini. Kemudian terbayarkan sudah pemandangan alam yang epic dan istimewa luar biasa. Suatu pemandangan alam khas pedesaan, dengan lukisan alami hamparan persawahan dan perbukitan. Sungguh keindahan tak ternilai harganya ketika hanya sebesar Rp 25.000,- kami registrasi.

SOSIAL MASYARAKAT
Secara etimologis, makna dari Sosial Masyarakat adalah sekelompok orang yang saling berinteraksi dalam suatu kelompok yang menggambarkan atau menciptakan norma-norma yang berkembang di masyarakat. Kawasan Borobudur tidak lepas dari sosial masyarakat yang sangat kental sejak abad ke 9 masehi, sesuai berkembangnya candi Borobudur. Kondisi sosial masyarakat ini kurang lebih tidak jauh berbeda dengan orisinalitas sosial masyarakat ketika masa lampau. Yang membedakan adalah kondisi jaman (fisik - non fisik) dan teknologi.
Pict by: Ake Ru
Kearifan lokal merupakan kunci utama untuk menyaring derasnya perkembangan jaman dan teknologi tersebut. Tanpa adanya kearifan lokal, sisi "keserakahan" manusialah yang akan mendominasi. Dan bisa ditampilkan secara nyata, bahwa kearifan lokal masyarakat Borobudur masih kuat. Di beberapa desa wilayah Borobudur masih banyak masyarakat yang mempertahankan tradisi maupun keunggulan produk lokal, antara lain tikar dari pandan dan industri gerabah. Patut diketahui bahwa peninggalan gerabah abad 9 banyak ditemukan arkeolog di kawasan candi Borobudur. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat sekeliling Borobudur juga memiliki kemampuan untuk membuat gerabah sejak jaman dulu.

Tidak berhenti di situ, kearifan lokal secara nyata ditunjukkan secara nyata oleh salahsatu masyarakat lokal Dusun Maitan, Borobudur. Wanita itu sedang duduk bekerja, tak kenal hari libur, dan selalu tersenyum kepada siapapun walau tidak dikenal. Dialah mbah (nenek) Kodri, seorang renta penganyam tikar dari daun pandan yang kulitnya keriput merekam 98 tahun jejak hidupnya (per 24 Agustus 2014). Namun jangan salah, mbah Kodri ini masih cekatan membuat produknya. Sebuah tikar bisa dibuatnya dalam 2 minggu, jari-jemarinya masih lincah tekun menganyam siang sampai sore. Kami disuguhkan pelajaran yang sangat berharga dan lagi-lagi tak ternilai harganya, dimana tikar tersebut dianyam 2 minggu hanya dihargai Rp 20.000,- namun mbah Kodri masih merasa dicukupkan. Kehidupan yang luar biasa karena secara matematis tidak masuk akal bagi kami para peserta event. Inilah kearifan lokal yang sesungguhnya diterapkan mbah Kodri. Mbah Kodri mengajarkan kepada kami untuk selalu ikhlas dan selalu bersyukur atas yang kita miliki (segala aspek kehidupan). Tak hanya itu saja, sebelum kami meninggalkan lokasi pertama, bahkan kami didoakan lancar rejeki oleh mbah Kodri. Sangat elok pelajaran yang kami dapat, selama ini kearifan lokal tidak ada dalam pelajaran formal (bahkan kurikulum pendidikan 2013 muatan lokal dihapus). Semoga mbah Kodri guru "kehidupan" nyata ini diberi panjang umur oleh Yang Maha Esa... :)
Pict by: Ake Ru
Dari rumah mbah Kodri, pukul 09.21 kami bertolak menuju kawasan kedua yaitu sentra pembuatan gerabah. Hamparan pemandangan alam begitu kental, dan sesekali penduduk menanyakan darimana kami berasal. Ya, sama-sama dari Magelang dan saling belajar makna kearifan lokal.... hehe.... Oh iya, sepanjang jalan kami juga mendapati gerabah yang sedang dijemur yang kemudian akan dibakar. Semuanya menggunakan teknik manual, tanpa bantuan alat khusus. Teknik yang masih dipertahankan sejak jaman dahulu hingga sekarang. Amazing !!!
Mbah Jumirah dan Agam
Seperti halnya mbah Kodri, di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang sentra pembuatan gerabah ini kami mendapati juga mbah Jumirah yang masih bugar membuat gerabah. Bahkan sekarung tanah liat yang menjadi bahan baku gerabahnya pun diangkat sendiri dengan tangannya. Mah Jumirah sangat humoris ketika kami dekati karena tertarik sedang membuat gerabah itu. "Wah simbah wis tuwa ditekani mas-mas enom bagus", ujarnya (Wah nenek sudah tua didatangi pemuda tampan). Sontak kami juga ikut tertawa karena mbah Jumirah yang humoris ini. Wanita tua 75 tahun (per 24 Agustus 2014) ini menjelaskan kepada kami bagaimana cara membuat gerabah yang baik dan bisa matang secara merata, sangat detail dan mudah dipahami. Di dalam keluarganya, mbah Jumirah ini memiliki 4 orang anak, yang juga melestarikan pembuatan gerabah. Mbah Jumirah sebenarnya sudah diminta berhenti oleh anak-anaknya. Namun ia mengurungkan saran anak-anaknya dengan alasan masih kuat dan bingung bila tidak berbuat apa-apa di rumah. Ya, memang keikhlasan, kejujuran dan kerendahan hatilah "kekuatan" dibalik kehidupan mbah Jumirah. Nampak sepele, namun tidak mudah dilakukan oleh kita.... ya kan??? hehe.... pelajaran yang sangat berarti mengikuti event kali ini.
Pict by: Pak Narwan
Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang selain sebagai sentra pembuatan gerabah, juga dijadikan desa wisata yang sudah disepakati bersama. Acap kali turis domestik dan mancanegara mengunjungi dusun Klipoh ini. Dengan mengendarai andong, para wisatawan dapat berkunjung ke dusun Klipoh tersebut. Juga dapat pula mengadakan worksop pembuatan gerabah yang kemudian menjadi cindera mata bagi wisatawan. Desa wisata ini dilakukan tanpa mengganggu aspek keseharian warga setempat. Lagi-lagi saya menggarisbawahi bahwa kearifan lokal lah yang menjaga dari komersialisasi berlebihan dari kawasan Borobudur.
Pict by: Ake Ru
Pak Tanggulangin Jatikusumo (Tengah)
Pict by: Ake Ru
Selepas dari dusun Klipoh, pada pukul 10.30 kami melanjutkan perjalanan menuju Rumah Kamera, desa Majaksingi, Borobudur. Ya, rumah tersebut berbentuk kamera konvensional. Dialah Tanggulangin Jatikusumo, si empunya bangunan Rumah Kamera. Seniman nyentrik ini membangun rumah kamera karena sebagai "pelampiasan" ketika masa mudanya yang sangat gigih demi mendapatkan sebuah kamera SLR yang mumpuni, ia harus berjuang dengan tidak mudah. Kemudian setelah berhasil, sebagai seniman lokal ia menumpahkan idenya itu dalam bentuk bangunan permanen yang populer di masyarakat dengan nama Rumah Kamera. Seniman yang rendah hati ini juga mengajarkan seni kepada masyarakat lokal. Setiap akhir ia mengajarkan seni lukis secara gratis kepada anak-anak sekitar Borobudur di Rumah Kamera tersebut. Tujuan mulia ini adalah mengasah jiwa seni tiap insan, dan diharapkan agar para seniman muda tidak hanya menjadi buruh kaum kapitalis, namun bisa "berdikari" dalam naungan dimana dia lahir dan hidup.
Rumah Kamera ini rencana juga akan dihadiri pak Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo (per 24 Agustus 2014). Dan Rumah Kamera ini juga ditahbiskan oleh rekor Muri sebagai rumah dengan bentuk kamera terbesar di Indonesia, bahkan tutur pak Tanggulangin, ini rumah kamera terbesar di dunia dan menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia khususnya.

Pict by: Ake Ru
Jam menunjukkan waktu pukul 11.00 WIB. Walaupun pimpinan rombongan (Pak Gub Bagus Priyana) sempat nyasar dan berbalik arah, namun tak menjadi masalah yang serius, malahan kisah yang lucu.... hehe....  Happy ending kami melanjutkan ke garis finish, yaitu: Candi Pawon. 

Sedikit kisah candi Pawon:
Pawon berasal dari bahasa Jawa awu yang berarti 'abu', mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti 'dapur', akan tetapi de Casparis mengartikannya sebagai 'perabuan' atau tempat abu. Penduduk setempat juga menyebutkan Candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata bahasa Sanskerta vajra = yang berarti 'halilintar' dan anala yang berarti 'api'. Candi Pawon dipugar tahun 1903.
Relief Kalpataru dan Kinara-Kinari
Di dalam bilik candi ini sudah tidak ditemukan lagi arca sehingga sulit untuk mengidentifikasikannya lebih jauh. Suatu hal yang menarik dari Candi Pawon ini adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief pohon hayati (kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk setengah manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung).
Semua tiba-tiba tidak fokus ke kamera dan menoleh ke kiri,
ada petugas (disamarkan) yang keberatan
Pict by: Pak Widoyoko
Satu kisah unik di ending event ini adalah ketika di candi Pawon, rombongan tidak boleh foto bersama di depan candi oleh petugas jaga. Dan bahkan petugas jaga tidak bisa menjawab alasan mengapa tidak boleh foto bersama menggunakan banner KTM, hanya beralasan: "hanya perintah atasan". Ini menjadi kisah unik, dimana komunitas yang bergerak di bidang heritage tidak boleh kampanye melestarikan benda heritage (lewat foto) oleh petugas yang berwenang. Namun karena kami dari pihak KTM tidak merasa punya salah atas alasan yang tidak jelas, maka kami tetap mengadakan foto bersama di candi Pawon. Maaf pak penjaga candi.... hehe.... :)