Jika mengunjungi sebuah kota, maka "patokan" kota adalah Masjid Agung ataupun alun-alun (Aloon-aloon) kota. Terlebih jika kita ke kota Semarang, pasti kita langsung menuju Simpang Lima sebagai patokan pusat kota. Orang awam tidak salah menyebutkan Simpang Lima itu sebagai alun-alun kota Semarang. Ketidaktahuan masyarakat yang sudah terlalu lama ini yang sekarang harus diluruskan. Perlu diketahui, bahwa Simpang Lima Semarang bukanlah alun-alun.
Saya terhenyak ketika mencari alun-alun kota Semarang yang sebenarnya. Sebelumnya, saya dengan media search engine sekelas Google saja sudah jelas ada kesalahan informasi. Yang terjadi ketika kita search kata: "alun-alun Semarang" kemudian yang muncul adalah gambar Simpang Lima Semarang. Ini sangat miris ketika search engine terbesar di dunia bisa terjadi kesalahan. Bahkan orang Semarang pun bisa terkecoh dan tidak tau kawasan alun-alun Semarang yang sebenarnya sesuai historis dan fakta. Oke, kita telaah bersama-sama tentang alun-alun....
ALUN-ALUN KOTA
Alun-alun sudah mengalami evolusi yang sangat panjang di Indonesia. Pada budaya masyarakat yang meliputi tata nilai, pemerintahan, kepercayaan, perekonomian dan lain-lain inilah yang mengubah wajah alun-alun. Beratus-ratus tahun yang lalu, salah satu pelopor kawasan alun-alun adalah kerajaan Hindu Majapahit.
Disebutkan dalam buku Negara Kertagama, Trowulan sudah mengenal Alun-alun sebagai kegiatan religiusitas. Di kala itu, kepercayaan masyarakat tani
yang setiap kali ingin menggunakan tanah untuk bercocok tanam, maka
haruslah dibuat upacara minta izin kepada “dewi tanah”. Yaitu dengan
jalan membuat sebuah lapangan “tanah sakral” yang berbentuk “persegi
empat” yang selanjutnya dikenal sebagai alun-alun.
Fungsi lain alun-alun di kala itu:
- Fungsi administratif: masyarakat berdatangan ke alun-alun untuk memenuhi panggilan ataupun mendengarkan pengumuman atau melihat unjuk kekuatan berupa peragaan bala prajurit dari penguasa setempat.
- Fungsi administratif: masyarakat berdatangan ke alun-alun untuk memenuhi panggilan ataupun mendengarkan pengumuman atau melihat unjuk kekuatan berupa peragaan bala prajurit dari penguasa setempat.
- Fungsi sosial budaya dapat dilihat dari kehidupan masyarakat dalam berinteraksi satu sama lain. Mengingat alun-alun biasanya hamparan lapangan luas berumput, interaksi sosial bisa di bidang perdagangan kecil, hiburan ataupun olahraga.
Evolusi Alun-alun
Masuknya Islam di Indonesia juga mempengaruhi bentuk dan fungsi alun-alun kota. Tata kota Jawa pada umumnya mempunyai bentuk dasar yang hampir sama, yaitu
selalu dibentuk dengan adanya alun-alun dengan dikelilingi pusat
pemerintahan dan masjid besar. Pada masjid besar tersebut, biasanva
selalu dikelilingi rumah-rumah tinggal yang kemudian disebut dengan nama
kampung Kauman yang notabene adalah tempat tinggal para kaum/orang yang "dituakan" dalam segi spiritual.
SOURCE |
Konsep alun-alun menurut Islam adalah sebagai ruang terbuka perluasan
halaman masjid untuk menampung luapan jamaah biasanya ketika hari besar agama Islam. Siar Islam telah membawa perubahan dalam perancangan
pusat kota, sehingga alun-alun dan Masjid berada dalam satu
kawasan yang di dekatnya juga terdapat jalur transportasi.
Di era kekuasaan kolonial Belanda, wajah alun-alun kota juga mulai terjadi perubahan. Hal ini
terlihat dengan didirikannya bangunan penjara pada sisi lain alun-alun.
Pendirikan bangunan-bangunan untuk kepentingan Belanda sekaligus
mengurangi fungsi simbolis alun-alun, kewibawaan penguasa setempat
(mbah kaum = kasta tinggi pribumi).
Di jaman sekarang, banyak alun-alun di Indonesia yang semakin berubah dari fungsi aslinya. Faktor pendorong perubahan fungsi tersebut diantaranya: kebijakan pemerintah, aktivitas masyarakat, perdagangan dan keserakahan.
ALUN-ALUN SEMARANG
Alun-alun tak pernah lepas dari Masjid Agung, dalam tulisan ini terkhusus pada Masjid Agung Semarang. Nihm satu fakta tercatat bahwa alun-alun semarang bukan berada di Simpang Lima Semarang, namun berada di Jl. Alun-alun
Barat Nomor 71 Semarang. Di situ berdirilah Masjid Besar Kauman Semarang yang menjadi cikal bakal alun-alun kota Semarang. Masjid ini dibangun pada tahun 1170 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1749 Masehi.
SOURCE |
Namun sekitar tahun 1938 alun alun tersebut
beralih fungsi menjadi kawasan komersil yaitu dengan adanya Pasar Johar.
Kesalahan itu tidak berhenti di situ saja, sekitar tahun 1970an Bangunan Kanjengan (pemerintahan) di sisi Selatan alun-alun telah
dirobohkan dan dibangun pertokoan. Kawasan alun-alun yang lain didekat
pasar Johar berdiri pasar Yaik Permai. Sedangkan di alun-alun Utara
(bekas terminal angkot) berdiri gedung BPD dan Hotel Metro, yang kemudian menjadi area Kawasan Perdagangan Johar.
Masjid Besar Kauman Semarang kini terjepit di antara bangunan bangunan
tinggi yang mengepungnya. Tata kota tradisional di Semarang kacau balau saat itu.
Hilangnya Alun-alun Semarang
Masjid Besar Semarang terkena rob SOURCE |
Sangat naif ketika hanya menyalahkan kejadian masa lalu atas hilangnya alun-alun Semarang. Pelajaran penting ini menjadi cambuk agar di kota lain tidak terjadi hilangnya tata kota tradisional alun-alun kota. Seperti yang sudah saya tuliskan: kebijakan pemerintah, aktivitas masyarakat, perdagangan dan keserakahan ini menjadi momok mengapa tradisi yang sudah ada menjadi hilang secara mudah.
SOURCE |
Khususnya di Semarang, pasar yang berdiri di Alun-alun adalah
bukti potensi ekonomi strategis kawasan ini sangat kuat, walaupun pasar
Johar penuh dengan permasalahan. Mulai dari banjir, rob, banyaknya PKL,
kemacetan lalu lintas dan yang terakhir dianggap oleh investor sebagai
bangunan yang sudah tidak layak dan akan diganti dengan pusat perbelanjaan.
POIN PENTING
Nah, sekarang kita sudah mengetahui sedikit sejarah tentang alun-alun dan terkhusus alun-alun di Semarang yang sudah hilang karena alih fungsi. Jangan salahkan orang ketika menjawab Simpang Lima Semarang sebagai alun-alun kota Semarang. Kita sebagai penulis dan pembaca harus mampu menyanggah atas data dan fakta yang ada, bahwa terjadi kurangnya informasi yang berkembang di masyarakat.
Dengan kisah dan fakta tersebut, kesalahan dalam pembangunan tata kota tradisional seharusnya tidak akan terulang lagi di kota lain.