Wednesday, 8 January 2014

MINGGU PAHING DI MAGELANG


Minggu pagi suasana masih mengembun di Magelang. Ketika embun belum menguap oleh mentari, sudah banyak orang berdatangan ke pusat kota Magelang. Orang-orang berdatangan tidak hanya dari Magelang saja, namun dari berbagai kota. Mereka berbondong-bondong ke pusat kota tidak berarti tak mempunyai alasan. Magelang sudah dikenal lama oleh warga Kedu, ketika hari Minggu Pahing (Pahing = hari Jawa) pasti mengadakan acara pengajian di Masjid Agung Magelang.

Tak sedikit pula orang Magelang "modern" yang mengetahui acara rutin Minggu Pahing di Masjid Agung. Terkadang orang Magelang kota acuh dengan acara ini karena dihadapkan dengan rutinitas sehari-hari yang lebih menarik, sehingga mereka melupakan bahkan tidak tahu tentang kearifan bersifat kelokalan seperti kegiatan Minggu Pahing di Masjid Agung Alun-alun Magelang. Semua ini tidak sepenuhnya kesalahan mereka, ketidaktahuan ini karena hanya kurang informasi saja mengenai hal tersebut. Ya, di media populer saja jarang yang menuliskan agenda ini. Namun saya pribadi sangat optimis, kalau kearifan lokal Minggu Pahing ini tidak akan punah dan tetap menjadi tradisi luhur. :)

Sedikit menyinggung tentang Minggu Pahing di Magelang, masyarakat pasti sudah paham tentang keistimewaannya. Minggu Pahing dianggap istimewa, karena pasti akan ada pengajian akbar. Banyak orang dari kota, kabupaten, bahkan (tidak mengurangi rasa hormat) jauh-jauh dari gunung pun menyempatkan diri untuk menghadiri pengajian di Masjid Agung Magelang. Magelang - Kedu memang sangat terkenal akan masyarakat yang religius dan toleransinya. Ini sangat terbukti, karena kawasan alun-alun Magelang di hari Minggu umat Nasrani dan umat Muslim saling berpapasan untuk beribadah di tempat ibadah yang saling berdekatan (Masjid Agung Magelang, Gereja St. Ignatius, GPIB dan Klenteng Liong Hok Bio) dan tidak ada masalah.


Ini serunya kalau Minggu Pahing di Magelang tiba. Karena banyaknya orang berdatangan dari wilayah "lingkar" Magelang, maka banyak orang yang berinisiatif berjualan di alun-alun bagian barat dan selatan. Ya, berjualan secara mendadak dan hanya pada satu waktu saja. Para pedagang ini biasa menyebut dengan pasar tiban. Pasar Tiban Minggu Pahing merupakan satu kesatuan yang tidak akan terpisahkan dari pengajian Minggu Pahing di Masjid Agung Magelang. Memang pasar tiban ini tidak seramai pasar konvensional yang biasanya. Namun sangat unik karena barang yang dijual sangat unik, seperti peralatan untuk beribadah, pakaian, makanan jadul, tasbih, ali-ali (cincin), gelang, tembakau dan sebagainya. Ini tidak akan terlihat di hari biasa, kecuali hari Minggu Pahing. Para pedagang ternyata tidak semata mementingkan sisi ekonomi saja, namun memiliki sisi "religius" ngalap berkah. Ngalap Berkah ini menandakan bersyukur kepada Tuhan atas berkah yang di dapatkan (jasmani-rohani). Sisi kearifan lokal sangat kental dengan adanya interaksi antar manusia, ditandai dengan tidak membedakan unsur SARA melihat kompleksnya budaya-religiusitas sekitar alun-alun kota Magelang.  Ya, inilah uniknya budaya lokal Minggu Pahing di Magelang.
Berjualan Tembakau dari Temanggung
Berjualan makanan: gorengan, arem-arem,
keripik melinjo, pisang rebus, dll.

MINGGU PAHING DI MAGELANG

Penanggalan Jawa sekarang kurang diminati oleh masyarakat "modern" kebanyakan (termasuk saya) hehe.... Ini dikarenakan orang menganggap bahwa sistem penanggalan Jawa tidak praktis dan banyak sekali maknanya. Ada juga orang yang takut mengetahui sistem penanggalan tersebut karena ada unsur hari baik dan hari buruk. Memang banyak yang menganggap unsur mistis masih melekat dengan sistem penanggalan tersebut. Dengan berbagai latar belakang itu, orang menganggap bahwa semua hari adalah sama baiknya. Itu juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena sebenarnya salah pengetian saja dengan sistem penanggalan Jawa. 

Menurut Primbon, setiap penanggalan tersebut memiliki makna dan tujuan. Primbon merupakan sistem perhitungan atau ramalan berkaitan dengan aktivitas orang Jawa. Menurut kepercayaan Jawa, arti dari suatu peristiwa dapat ditentukan dengan menelaah saat terjadinya peristiwa tersebut menurut berbagai macam perputaran kalender tradisional. Salah satu penggunaan yang umum dari metode ini dapat ditemukan dalam sistem hari kelahiran Jawa yang disebut wetonan.

Weton merupakan gabungan dari tujuh hari dalam seminggu (Senin, Selasa, dst) dengan lima hari pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Perputaran ini berulang setiap 35 (7 x 5) hari, sehingga menurut perhitungan Jawa hari kelahiran kita berulang setiap lima minggu dimulai dari hari kelahiran kita.

Makna Minggu Pahing
Ternyata, tidak ada salahnya juga mengerti soal penanggalan jawa. Menurut berbagai sumber yang saya baca, makna dari Minggu Pahing di primbon Jawa adalah: 
  • Menurut pengertian tradisional, orang yang lahir pada hari Minggu Pahing diakui memiliki kemampuan yang mengagumkan di bidang apa saja yang digelutinya. Mereka adalah pribadi-pribadi kuat yang mampu mempertahankan pendapatnya dalam keadaan sulit sekalipun. Tetapi mereka juga berpikiran luas dan cenderung ditanggapi dengan baik dalam lingkungan sosial.
  • Anehnya, kelompok ini dapat benar-benar ahli dalam menyembunyikan (atau memendam) perasaan-perasaan yang tidak enak seperti kemarahan, kesedihan, atau penyesalan.
  • Kontrol diri semacam itu sangat menguntungkan bagi seorang politikus, doktor UGD, atau agen rahasia. Namun, semoga sifat ini tidak berakibat pula pada terpendamnya perasaan-perasaan yang semestinya ditunjukkan secara terbuka kepada orang-orang yang mereka cintai.
Masjid Agung - Minggu Pahing di Magelang

Masjid Agung Magelang 1920
Source: KITLV (klik)
Kegiatan keagamaan di Masjid Agung Magelang ini tak terlepas dari sejarah, yaitu berawal dari penentuan arah kiblat masjid. Kiblat Masjid Agung Magelang ini merupakan salah satu dari 3 masjid di Jawa Tengah yang mempunyai kiblat lurus dengan Mekah, dua masjid lainnya adalah masjid di Grobogan dan Masjid Agung Jawa Tengah. Walau sudah berulang kali mengalami pemugaran kiblat masjid ini tidak pernah dirubah sejak pertama didirikan oleh KH Mudakir.
 
Pada saat didirikan oleh bupati pertama RA Danoeningrat I, kepengurusan dilakukan oleh bidang kepenghuluan. Setelah Departemen Agama (Depag) berdiri sekitar tahun 1945, masjid ini dikelola oleh Depag. Baru pada tahun 1960 terbentuk kepengurusan takmir masjid.
Setelah terbentuk kepengurusan takmir masjid, kegiatan keagamaan kian tertata dan maju. Salah satu tradisi yang masih terjaga hingga sekarang adalah Pahingan yang dilakukan selapan (35 hari) pada hari Minggu pahing. Kegiatan ini dilakukan mulai tahun 1967, jamaah yang datang pun bukan hanya dari Kota Magelang namun juga dari luar kota dan kabupaten. (Bhekti Wira Utama).

RELEVANSI

Kita patut berbangga memiliki sistem tata kota dengan tingkat budaya sosial yang stabil di Magelang. Melihat tata kota alun-alun kota yang memiliki "lingkaran emas" tempat ibadah (Masjid Agung Magelang, Klenteng Liong Hok Bio, Gereja St. Ignatius dan GPIB) yang digunakan masing-masing di hari yang sama, namun saling menunjukkan sikap toleransi. Ini sangat terbukti ketika setiap acara Minggu Pahing di alun-alun Magelang terlaksana dengan rapi, tertib dan bersih.

Kegiatan masyarakat seperti ini seharusnya bisa menjadi jagar budaya yang sangat istimewa. Lihat saja segi kelokalan yang masih tetap bertahan di cepatnya perkembangan jaman. Secara nyata ditunjukkan sisi religius dan ekonomi masyarakat kecil (di luar tempat ibadah) berdampingan. Bukan melulu soal mencari materi berbentuk uang, namun mensyukuri berkah jasmani-rohani sudut pandang kearifan lokal. Hal seperti ini seharusnya lebih diperhatikan dan dilestarikan daripada pemikiran "modernisasi" memperbanyak bangunan-bangunan baru seperti ruko dan toserba yang cenderung lebih ke budaya konsumerisme.

Kemajuan jaman dan teknologi memang tidak bisa ditahan. Justru manusia harus update soal modernisasi kemajuan teknologi dan jaman. Namun ada yang kadang disayangkan apabila tradisi lokal disinyalir akan menjadi pudar secara perlahan. Kita kadang lupa, kearifan lokal itu merupakan filter ampuh dalam menghadapi era globalisasi modern. Tradisi kearifan lokal merupakan jati diri Indonesia. Apabila sebuah tradisi dihilangkan, maka mulai runtuhlah jati diri. Dan kita berakhir dengan "disetir" budaya baru (yang entah itu budaya yang baik atau buruk apabila tidak pakai filter kearifan lokal).

Ya, semoga kearifan lokal Magelang ini tidak punah oleh ulah masyarakat Magelang sendiri. Tugas kita semua menjaga dan melestarikannya. :)

SAVE HISTORY AND HERITAGE IN MAGELANG

Referensi:
KOTA TOEA MAGELANG